Minggu, 22 Mei 2011

Refleksi Hari Kebangkitan Nasional Mahasiswa Sejarah UHAMKA

“Seluruh hadirin dipersilahkan bediri” begitulah kiranya pembawa acara memberi panduan kepada seluruh hadirin yang ada dalam acara tersebut, ternyata kita semua akan menyanyikan lagu Indonesia Raya, ya lagu kebangsaan kita, lagu yang menjadi pemersatu dari Sabang sampai Merouke, bukan hanya gugusan pulau-pulau atau juga masyarakat dari berbagai suku yang dipersatukan, tetapi seluruh tumpah darah kita di satukan di sana, Indonesia ku, Indonesia mu, ya Indonesia Kita Indonesia Jaya. 

Sudah satu abad lebih gagasan untuk mempersatukan dengan nama “Indonesia” kita rayakan, terlepas dasar siapa yang lebih dahulu entah Budi Utomo (BO) atau Syarikat Islam (SI) yang mempelopori kebangsaan kita, tetapi yang jelas nama Indonesia harus tetap ada dan jaya sampai akhir hayat. Hari Kebangkitan Nasional adalah sebagai refleksi atau evaluasi dari setiap perjalanan bangsa kita dalam tiap-tiap tahu, apa yang sudah kita berikan, atau apa yang kita lakukan, entah apa lagi pertanyaannya yang jelas kita harus evaluasi. 

Tepat malam minggu (sabtu malam) tanggal 21 Mei 2011, di pelataran Kampus UHAMKA diadakan renungan atau refleksi dari lahir dan sepanjang perjalannya bangsa kita hingga saat ini, yaitu dengan tonggak Hari Kebangkitan Nasional. Informasi yang saya terima segera saya respon untuk hadir, apalagi UHAMKA bagian dari perjalanan saya menuntut ilmu, tepat pukul 21.00 sayapun sudah berada di dalam riungan acara, Pak Dekan, Pak Pono, Bu Sus dan masih banyak lagi yang hadir, saya tidak hapal satu-persatu di antara para yang hadir. Acara yang diselenggarakan di luar ruangan (lapangan) membuat acara terkesan rileks namun tidak menghilangkan makna dari acara dimaksud bahkan acara semakin haru. Acara ini di motori oleh anak-anak sejarah, terlebih para dosen Ibu Lely Qodariah (Kaprodi Sejarah), Bapak Danil Fernandez dan tak lepas almamater kami UHAMKA. Acara diisi mulai dari Orasi, pembacaan Puisi, Nobar (Nonton Bareng “Film Tanah Air Beta”) dan lain sebagainya.  

Singkat cerita, acara telah dibuka dan satu demi satu pembicara mulai menyampaikan orasinya, mulai dari ; para dosen, alumni dan sampai kepada para mahasiswa. Saya memperhatikan sekali apa yang disampaikan oleh Pak Danil Fernandes, beliau menyampaikan dengan sangat tertata, satu persatu peristiwa perjalanan bangsa ini dikupas mulai dari; kata Indonesia siapa yang pertama kali yang menyebut dan menggunakannya, bagaimana Organisasi Budi Otomo berdiri, bagaimana organisasi ini melakukan pergerakan-pergerakan, lahirnya lagu Indonesia Raya  dan sampai kepada kesepakatan kata “Indonesia Merdeka”, dan yang tak kalah menariknya beliau juga menceritakan bagaimana perjalanan anak-anak sejarah di almamater kami yang tentunya sekaligus menceritakan perjalanan UHAMKA, beliau menceritakan dengan penuh semangat dan juga saya memperhatikan beliau nampak menanamkan semangat yang sangat besar terhadap anak-anak didiknya terutama anak-anak sejarah. Bukan sesekali beliau menyelingi acara demi acara dengan bernyanyi, dan saya melihat beliau memang tipe orang yang senang bernyanyi, mulai dari lagi kebangsaan sampai kepada lagu-lagu daerah seperti dari tanah Batak, Jawa, Ambon “Poco-poco” dan juga tidak ketinggalan lagu dari tanah Papua yang berjudul “Sajojo”. Satu hal juga yang saya perhatikan dan sangat menarik yaitu pada saat lagu Poco-poco dinyanyikan, Kaprodi Sejarah Ibu Lely Qodariah tiba-tiba langsung mengambil bagian paling depan dan ternyata dia ingin berjoged, ah si ibu ini ada-ada saja. Dasar emang itu anak (mahasiswa) ngeliat ibunya joged di depan eh gak mau ketinggalan, jadi juga tuh lagu poco-poco di jogedin oleh semua peserta yang hadir tak terkecuali saya, setidak-tidaknya walau tidak joged di depan, saya juga menggoyangkan badan di tempat saya berdiri. Pak Danil n Bu Lely mantep deh. 

Puisi yang di bacakan oleh Pak Desvian Bandar Syah sangat mengena sekali, saya pada saat itu memang tidak membawa alat tulis, jadi saya tidak mencatat secara detil tek pusisi yang di bacakan olehnya, tetapi saya menangkap puisi itu sangat tepat dengan realita yang ada pada bangsa ini, lebih khusus pada kondisi pemerintahan kita, yang syarat dengan kebokbrokan yang sudah menyentuh pada multi dimensi, pun begitu tetapi saya melihat pemerintahan ini bukan tanpa ada sedikit perbaikan, tetapi memang masih sangat banyak yang perlu di perbaiki. Terkait pembacaan puisi ini saya meralat, sebelunya oleh pembawa acara puisi ini dipersilahkan untuk dibacakan oleh saudari Ika Yatri (Dosen Muda), tetapi entah kenapa ia tidak sampai selesai membacanya, maka puisi ini pun dibacakan kembali oleh Pak Desvian Bandarsyah yang memang ia yang membuatnya. 

Pada acara ini tak lupa pak Dekan Dr. Sukardi juga mucul di muka hadirin, ia menyampaikan beberapa kalimat saja, tak banyak ia berkata-kata, tetapi saya menyimak dari beberapa kata yang ia sampaikan, yaitu tentang puisi yang berbunyi Kakiku luka, Luka kakiku, Kaki kau lukakah, Lukakah kaki kau, Kalau kaki kau luka, Lukakukah kaki kau, Kakiku luka, Luka kaukah kakiku, Kalau lukaku luka kau, Kakiku kaki kaukah, Kaki kaukah kakiku, Kakiku luka kaku, Kalau lukaku luka kau, Luka kaku kakiku luka kaku kaki kaukah, Luka kaku kaki kaukah luka kaku kakiku.” Entah apa maksudnya, tetapi beliau mengatakan puisi ini adalah puisi tentang “membaca - iqra”, mungkin maksud beliau adalah bacalah dari serpihan-serpihan sejarah yang ada, tetapi saya tetap tidak paham. Ya entahlah, yang pasti beliau mengharapkan kepada yang hadir pada acara tersebut terutama para mahasiswa, bacalah dari apa-apa yang kita ingin tahu dan sebutlah atas nama Tuhanmu. 

Kesempatan luas diberikan kepada para mahasiswa yang ingin orasi, maka tak ketinggalan dari salah seorang mahasiswa sejarah tampul kemuka, nampaknya ia Ketua Mahasiswa, entah siapa namanya saya tidak ingat lagi, maklum angkatan kuliah saya dengan dia terpaut jauh, tetapi saya ingat yang ia katakana “jangan terlalu mencurigai kegiatan mahsiswa lebih khusus sejarah, karena bagaimanapun juga kita ingin mengibarkan nama almamater kita bukan hanya di dalam gerbang tetapi juga di luar gerang” begitu kira-kira kata yang saya tangkap. Kepada siapa kata-kata ini ia tujukan, saya tidak tahu. Tetapi saya mencermati mereka merasa tertekan atau tidak terbebaskan dari ilmu-ilmu yang Bapak-ibu dosen berikan, bukankah ilmu itu membuat manusia terbebas dari belenggu!.   

Bapak ibu dosen yang sangat saya banggakan. Saya melihat seperti yang Pak Danil katakana bahwasannya UHAMAK ini tidak terlepas dibesarkan oleh anak-anak sejarah, maka aksi-aksi merekapun tidak terlepas dari sejarahnya, bukankah Bung Karno bilang “Jangan sekali-kali melupakan sejarah”, mahasiswa sejarah UHMKA angkatan-angkatan sekarangpun berkat bapak ibu jualah, saya yakin apa yang mereka suarakan baik di dalam maupun di luar kampus tentunya demi kebaikan kampus, bukankah kebaikan kampus demi kebaikan kita semua.

Sedikit dari saya, “berikanlah ilmu dengan cara berkesan dan bermakna, niscaya dia akan mengingat dari siapa ia dapatkan ilmu dan mengamalkan ilmu tersebut dalam kehidupannya”, dan mohon maaf jika ada salah-salah kata. 

UHAMKA jaya selalu.